Dalam Negeri

Kegiatan

Download

SYARIAH

Luar Negeri

KHILAFAH

Analisis

Soal Jawab Bersama Amir Hizbut-Tahrir

Posted by adim_wijaya on Rabu, 16 April 2014 | 0 komentar | Leave a comment...

Hukum Bekerja dengan Penguasa sebagai Polisi dan Lainnya


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Saya punya pertanyaan akhi. Saya tinggal di kota al-Khalil (Hebron) dan semua orang tahu bahwa kita mendapat cobaan pada Otoritas ini. Otoritas dhirar dan faktanya dikenal luas …
Pertanyaan saya ada dua:
Pertama, apakah semua orang yang berafiliasi kepada dinas-dinas Otoritas itu berdosa, yakni tidak boleh, termasuk yang menjadi polisi lalu lintas.
Kedua, apa hukum orang yang bekerja pada Otoritas (di kantor-kantor Otoritas) sebagai tukang, seperti tukang bangunan, membersihkan lantai, dan sebagainya …
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Jawab:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.
1. Berkaitan dengan masalah bekerja sebagai polisi pada Otoritas …
-                      Abu Ya’la telah mengeluarkan di Musnad-nya, dan Ibn Hibban di Shahîh-nya, dan lafazh menurut Abu Ya’la: dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, keduanya berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ سُفَهَاءُ يُقَدِّمُونَ شِرَارَ النَّاسِ، وَيَظْهَرُونَ بِخِيَارِهِمْ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا، فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ، فَلَا يَكُونَنَّ عَرِيفًا وَلَا شُرْطِيًّا وَلَا جَابِيًا وَلَا خَازِنًا»
Sungguh akan datang pada manusia zaman-zaman di mana para pemimpin bodoh (umarâ’ sufaha’) memerintah di tengah kalian. Mereka lebih mengedepankan orang-orang jahat dan memunggungi orang-orang baik mereka. Mereka mengakhirkan shalat dari waktu-waktunya. Maka siapa saja dari kalian yang mendapati hal itu, janganlah dia menjadi penasihat, polisi, pemungut harta, dan penyimpan harta

Hadits ini, Rasul saw melarang empat posisi itu di bawah pemerintahan para pemimpin bodoh (umarâ’ sufahâ’) secara mutlak.

-                      Akan tetapi ath-Thabarani telah mengeluarkan di Mu’jam ash-Shaghîr dan Mu’jam al-Awsath dari Abu Hurairah berikut ini:
«فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَانَ فَلَا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا، وَلَا عَرِيفًا، وَلَا شُرْطِيًّا»
Maka siapa saja dari kalian yang mendapati zaman itu, janganlah dia menjadi untuk mereka sebagai pemungut harta, jangan jadi penasihat, jangan pula jadi polisi.

Jadi Rasulullah bersabda falâ yakunanna lahum –jangan menjadi untuk mereka …-. Artinya, larangan tersebut dibatasi (muqayyad) sebab huruf al-lâm adalah untuk menunjukkan kekhususan (li al-ikhtishâsh). Dan ini berarti bahwa larangan di dalam hadits kedua itu berkaitan dengan bekerja untuk para penguasa itu semisal penjaga khusus untuk mereka, direktorat-direktorat keamanan yang khusus untuk melindungi penguasa. Demikian juga penyimpan harta mereka dan semacam itu, dalam bentuk direktorat-direktorat keamanan yang khusus dengan para penguasa itu …
Dan karena kaedah ushul menyatakan untuk membawa nas mutlak kepada nas muqayyad, maka larangan tersebut berkaitan dengan bekerja di dinas polisi khusus yang menjaga para penguasa dan keamanan mereka … seperti pengawal pribadi kepala Otoritas dan para pembatunya, penyimpan harta mereka, polisi keamanan negara dan semacamnya.
Sedangkan dinas-dinas polisi biasa lainnya, maka boleh. Dan tentu saja kebolehan itu bukan berarti (boleh) menzalimi manusia atau memakan hak-hak mereka, akan tetapi mencari kebenaran dalam bekerja. Dan ini bukan hanya di dinas polisi akan tetapi berlaku pada semua direktorat … Karena itu, menjadi polisi lalu lintas dan semisalnya adalah boleh.
2. Sedangkan pekerjan-pekerjaan lainnya seperti menjadi pekerja pada mereka dalam pembangunan, kebersihan lantai, dan sebagainya, maka hukumnya boleh. Sebab, akad ijarah boleh dilakukan dengan muslim dan non muslim dalam pekerjaan-pekerjaan yang mubah kecuali dalam kondisi perang riil. Untuk kondisi itu ada hukum-hukum syara’nya secara khusus. Ibn Majah telah mengeluarkan dari Ibn Abbas ia berkata:
«أَصَابَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَصَاصَةٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَخَرَجَ يَلْتَمِسُ عَمَلًا يُصِيبُ فِيهِ شَيْئًا لِيُقِيتَ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى بُسْتَانًا لِرَجُلٍ مِنْ الْيَهُودِ فَاسْتَقَى لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ دَلْوًا كُلُّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَخَيَّرَهُ الْيَهُودِيُّ مِنْ تَمْرِهِ سَبْعَ عَشَرَةَ عَجْوَةً فَجَاءَ بِهَا إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Kesusahan menimpa Nabi saw lalu hal itu sampai kepada Ali, maka ia pun keluar mencari pekerjaan agar bisa mendapatkan sesuatu untuk makan Rasulullah. Ali mendatangi satu kebun milik seorang Yahudi dan ia bekerja mengairi kebun itu sebanyak 17 timba dengan imbalan satu butir kurma tiap timba, lalu orang Yahudi itu memilihkan 17 butir kurma Ajwa dan Ali bawa kurma itu kepada Rasululla saw

AT-Tirmidzi juga mengeluarkan yang semisalnya. Ini adalah dalil bolehnya ijarah (kontrak kerja dalam pekerjaan-pekerjaan mubah dengan muslim maupun non muslim. Selama ijarah itu boleh dilakukan dengan non muslim, maka ijarah (bekerja) kepada Otoritas (penguasa) dalam pekerjaan-pekerjaan mubah hukumnya juga mubah.


Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
29 Rajab 1434
08 Juni 2013
Sumber :

(Rangkaian Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Berbagai Pertanyaan di Akun Facebook Beliau)

Jihad dalam Perspektif Hizbut Tahrir

Posted by adim_wijaya on Jumat, 29 November 2013 | 0 komentar | Leave a comment...



Jihad dalam Perspektif Hizbut Tahrir

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI**


Pendahuluan
Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsepsi jihad dalam perspektif Hizbut Tahrir (HT). Referensi utamanya adalah kitab-kitab yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, khususnya kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz 2 karya Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (pendiri HT), yang banyak membahas hukum-hukum fiqih, termasuk hukum-hukum jihad.
Namun konsepsi jihad dalam pandangan HT tidak hanya terdapat dalam kitab tersebut, tapi juga disinggung dalam kitab-kitab HT lainnya, seperti kitab Hizbut Tahrir (Ta’rif) dan Manhaj Hizbut Tahrir.
Akan digunakan pula referensi lain dari para ulama untuk memperjelas pembahasan, khususnya ulama dari kalangan syabab Hizbut Tahrir, seperti kitab Syarah Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah  Juz 2 karya Syaikh Hisyam Al-Badrani dan kitab Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah karya Syaikh Dr. Muhammad Khair Haikal.
Pengertian Jihad
Jihad menurut pengertian bahasa (lughah) artinya adalah mengerahkan segenap kemampuan (badzlul wus’i). Adapun menurut syariah, pengertian jihad adalah:

الْجِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْوُسْعِ فِي الْقِتَالِ فِي سَبِيْلِ اللهِ مُبَاشَرَةً أَوْ مُعَاوَنَةً بِمَالٍ أَوْ رَأْيٍ أَوْ تَكْثِيْرِ سَوَادٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ
“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/336).
Yang dimaksud berjihad dengan harta, adalah infaq harta yang terkait dengan perang secara langsung (mubaasyarah), misanya memberikan dana, pakaian, obat-obatan, kepada para mujahidin di medan perang. Jika infaq harta tidak terkait degan perang secara langsung, misalnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu korban bencana alam, membangun lembaga keuangan syariah, memberi beasiswa, dan sebagainya, tidak dapat disebut jihad menurut pengertian syariah.
Demikian pula berjihad dengan pendapat. Yang dimaksud adalah pendapat yang terkait dengan perang secara langsung (mubaasyarah), seperti memberikan pendapat mengenai pengaturan lokasi pasukan di medan perang, pendapat tentang senjata apa saja yang dipakai dalam suatu serangan, dan sebagainya. Jika pemberian pendapat tidak terkait dengan perang secara langsung, misalnya menulis kitab fiqih, tafsir, hadits, dan sebagainya, maka tidak dapat disebut jihad dalam pengertian syariah.
Yang demikian itu dikarenakan yang menjadi pokok masalah bukanlah faidah atau manfaat dari suatu perbuatan, bukan pula faktor kesulitan (masyaqqah), bukan pula faktor pengerahan segenap kesungguhan (badzlul juhd), melainkan makna syar’i yang dikandung oleh suatu kata yang terdapat dalam nash-nash syariah.
Jadi, dalam pandangan HT, jihad dalam makna syar’i-nya memang khusus hanya digunakan untuk perang dan setiap-tiap apa saja yang terkait dengan perang secara langsung (al-qitaal wa kullu maa yata’allaqu bil qitaali mubaasyaratan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/145).
Dengan demikian, menjadi jelas hubungan antara jihad dengan perang (qitaal). Jadi jihad pada pokoknya adalah perang (al-qitaal), yaitu khususnya di sini perang yang dilakukan oleh kaum muslimin melawan kaum kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan kaum muslimin (kafir ghairu dzi ‘ahdin). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16/124). Namun demikian, di samping berarti perang, jihad juga dapat berupa aktivitas lain yang bukan perang, asalkan masih ada kaitannya dengan perang secara langsung. Seperti memberi bantuan dana kepada para mujahidin yang sedang berperang, dan sebagainya.
Adapun perang, tidak selalu dapat dikategorikan jihad. Perang dapat dikategorikan jihad, jika yang menjadi sasaran perang adalah kaum kafir (non muslim), seperti kaum Yahudi atau Nasrani (lihat misalnya QS At-Taubah [9] : 29). Jika yang menjadi sasaran perang adalah sesama kaum muslimin, misalnya perang yang dilakukan Imam (Khalifah) melawan bughat (kaum pemberontak yang memberontak dengan senjata kepada Khalifah yang sah), tidak dapat disebut jihad, melainkan disebut perang saja. Sebab kaum bughat itu masih muslim, bukan kaum kafir (lihat QS Al-Hujuraat [49] : 9), maka definisi jihad tidak dapat diterapkan untuk aktivitas memerangi kaum bughat. (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, 1/66).
Perlu ditambahkan, terkadang nash-nash syara’ baik Al-Qur`an maupun Al-Hadits menggunakan kata jihad bukan dalam makna syar’inya, melainkan dalam makna bahasanya. Menurut Muhammad Khair Haikal, ini berarti jihad diartikan secara majazi (kiasan), yaitu tidak diartikan menurut arti aslinya yang ditetapkan syariah, melainkan diartikan menurut makna bahasanya, dikarenakan terdapat qarinah (indikasi) yang mengalihkannya dari makna syar’inya yang asli. (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, 1/48). Kaidah ushuliyah dalam hal ini menyebutkan : Al-ashlu fi al-kalaam al-haqiqah wa laa yushrafu ila al-majaaz illa bi-qariinah (Yang menjadi asal dalam memahami perkataan adalah mengikuti makna hakikinya, tidak dialihkan kepada makna majazinya kecuali terdapat qarinah).
Sebagai contoh, hadits dalam Bukhari dan Muslim bahwa seorang lelaki pernah minta izin berperang kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya kepadanya,”Apakah masih hidup ibu bapakmu (a hayyun waalidaaka)?” Lelaki itu menjawab,”Ya.” Rasulullah SAW bersabda,”Maka berjihadlah kamu kepada ibu bapakmu (fafiihimaa fa-jaahid).” (HR Bukhari, no 5972; Muslim, no 254). Di sini terdapat qariinah haaliyah (indikasi berupa keadaan) yang tidak memungkinkan diartikan menurut arti aslinya, maka kata “jihad” dalam hadits tersebut diartikan secara majazi, yaitu berbuat baik kepada ibu bapak. Imam Ibnu Hajar mengartikan fafiihimaa fa-jaahid, dengan penafsiran fa-blugh juhdaka fi birrihima wal ihsaan ilaihima (maka bersungguh-sungguhlah kamu dalam berbakti dan berbuat baik kepada keduanya). (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, 10/403).
Perlu juga ditambahkan, pendefinisian jihad dalam arti perang oleh HT, bukanlah suatu hal yang ekstrem atau aneh. Justru pendapat HT itu sejalan dengan pendapat madzhab empat (al-madzahib al-arba’ah) yang menjadi anutan kaum muslimin umumnya, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Muhammad Khair Haikal dalam kitabnya Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Al-Syar’iyyah, Juz 1 halaman 44, sbb :
Dalam mazhab Hanafi, Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada`i’u Al-Shana`i’ menjelaskan :
وفي عرف الشرع يستعمل في بذل الوسع والطاقة بالقتال في سبيل الله عز وجل بالنفس والمال واللسان أو غير ذلك 

“Dalam urf syariah, [jihad] itu digunakan dalam pengertian mengerahkan kemampuan dan kesanggupan dalam perang di jalan Allah Azza wa Jalla dengan jiwa, harta, lisan, atau yang lainnya.” (Imam Al-Kasani, Bada`i’u Al-Shana`i’ fi Tartib Al-Syara`i’, 7/97).
Dalam mazhab Maliki, Syaikh Muhammad Ilyas dalam kitabnya Manhul Jalil berkata :

الجهاد أي قتال مسلم كافرا غير ذي عهد لإعلاء كلمة الله …

“Jihad, artinya adalah perang oleh seorang muslim terhadap orang kafir yang tak mempunyai ikatan perjanjian, untuk meninggikan kalimat Allah.”  (Syaikh Muhammad Ilyas, Manhul Jalil Mukhtashar Sayyidi Khalil, 3/135).
Dalam mazhab Syafi’i, dalam kitab Hasyiyah al-Bujairimi disebutkan definisi jihad :
)الجهاد( أي : القتال في سبيل الله
[Jihad] artinya adalah perang di jalan Allah.” (Hasyiyah al-Bujairimi ‘Ala Syarah Al-Khathib, 4/225)
Masih dalam mazhab Syafi’i, Imam As-Syairazi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab berkata :
أن الجهاد هو القتال
 “Sesungguhnya jihad itu tiada lain adalah perang.” (Imam As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, 2/227).
Dalam mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni juga menjelaskan pengertian jihad yang semakna dengan mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, yaitu perang di jalan Allah. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 10/375).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian syar’i untuk jihad menurut HT kurang lebih sama dengan pengertian jihad menurut ulama madzhab yang empat.
Karena itu, tidaklah tepat jika ada yang menggunakan kata “jihad” di luar makna perang. Misalnya slogan “jihad melawan korupsi”. Mungkin maksud pembuat slogan ini bagus, yaitu ingin menunjukkan keseriusan yang tinggi dan hebat dalam memberantas korupsi, atau ingin menimbulkan rasa gentar di hati kaum koruptor. Namun jika kata “jihad” yang digunakan untuk tujuan itu, sungguh itu merupakan pemaksaan makna di luar konteks yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hukum-Hukum Jihad
HT telah menjelaskan sejumlah hukum-hukum jihad dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz 2. Dibahas misalnya hukum jihad dari segi kapan fardhu kifayah dan kapan fardhu ‘ain, pengaturan jihad oleh Khalifah, hubungan jihad dengan keberadaan Khalifah, hukum orang yang mati syahiid, penjagaan perbatasan negara (ar-ribath), hukum meminta pertolongan orang kafir dalam jihad, tawanan perang, berdusta dalam perang, perdamaian (hudnah), dan sebagainya. (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz 2 dari halaman 145 s/d halaman 231). Dalam kitab Hizbut Tahrir (Ta’rif), hlm. 115-116, dijelaskan secara ringkas hukum terpenting dalam jihad.
Jihad hukumnya fardhu berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Al-Hadits. Nash Al-Qur`an misalnya QS Al-Anfaal : 39; QS Al-Baqarah : 193; QS At-Taubah : 29; QS Al-Baqarah : 216; QS At-Taubah : 39; QS At-Taubah : 132.
Nash Al-Hadits misalnya hadits shahih riwayat Imam Muslim :

مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ؛ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang mati dan belum pernah berperang dan belum pernah berniat untuk berperang, maka dia mati dengan membawa satu cabang [sifat] kemunafikan.” (HR Muslim, Kitabul Imarah, no 1910).
Jihad hukumnya fardhu kifayah untuk memulainya, dan fardhu ‘ain jika musuh menyerang. Yang dimaksud “fardhu kifayah memulainya” (fardhu kifayatin ibtidaa`an), adalah bahwa kita (kaum muslimin) secara fadhu kifayah wajib memulai perang meskipun musuh (kaum kafir) tidak memulai memerangi kita. Jika tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang melakukan jihad ini dalam zaman tertentu, maka berdosalah semua kaum muslimin karena meninggalkan kewajiban jihad. (in lam yaqum bil qitaali ibtidaa`an ahadun min al muslimiina fi zamanin maa atsimal jamii’u bi-tarkihi).(Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/148).
Namun demikian, tidak halal kaum muslimin memulai perang kepada kaum kafir, sebelum menyampaikan dakwah Islam. Jadi yang pertama-tama, adalah wajib lebih dulu menyampaikan dakwah mengajak kaum kafir masuk ke dalam agama Islam. Jika mereka tidak mau masuk Islam, maka kaum kafir itu diminta membayar jizyah. Dan jika mereka tetap tidak mau membayar jizyah, barulah kaum muslimin boleh memerangi mereka. (Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/149).
Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Shahih Muslim dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya. (Lihat Shahih Muslim, kitabul Jihad, no. 1731, juga hadits yang semakna dalam Sunan Abu Dawud, no. 2858; Jami’ Tirmidzi, no. 1408). (Hisyam Al-Badrani, Syarah Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah  Juz 2, hlm. 176).
HT menolak pembatasan jihad hanya pada jihad defensif (jihad difa’i) saja, yaitu hanya disyariatkan dalam rangka bertahan terhadap serangan musuh. Pembatasan ini batil, karena dalam Islam juga terdapat jihad ofensif (jihad hujuumi/jihad thalab), yaitu jihad yang bersifat aktif menyerang musuh kafir lebih dahulu, tanpa menunggu diserang musuh. Jadi jihad defensif dan jihad ofensif kedua-duanya ada dan diakui dalam Islam, bukan hanya jihad defensif saja. (Lihat kitab HT berjudul Hatmiyyah Ash-Shira’ Baina Al-Hadharah Al-Islamiyyah wa al-Hadharah Al-Gharbiyyah).
Dalam Al-Qur`an terdapat dalil yang mensyariatkan jihad defensif (lihat QS Al-Baqarah : 190). Namun dalam Al-Qur`an juga terdapat dalil yang mensyariatkan jihad ofensif (misalnya QS At-Taubah : 29). Khalifah Umar bin Khaththab dulu banyak melakukan penaklukan (futuhat) yang hakikatnya adalah jihad ofensif yang tanpa menunggu serangan musuh lebih dulu.
Mereka yang membatasi jihad hanya pada jihad defensif sebenarnya telah melakukan ta`wil yang batil sebagai upaya membela diri dari serangan kaum orientalis yang kafir. Memang banyak kaum orientalis yang kafir yang telah menyerang dan mengecam jihad. Mereka memberi predikat-predikat buruk kepada jihad, misalnya disebut sebagai penyebaran agama dengan pedang, tindakan biadab, barbar, kejam, tak berperikemanusiaan, dan sebagainya. Dalam kitab Iftiraa`aat Haula Ghaayaat Al Jihad, karya Dr. Muhammad Na’im Yasin (Darul Arqam ; 1984) dapat dijumpai kutipan-kutipan serangan terhadap jihad yang dilontarkan oleh kaum orientalis yang kafir, seperti Philip K. Hitti, Ignaz Goldziher, Majid Khadduri, Arnold Toynbee, Lorents Brown, dan sebagainya.
Akhirnya sebagian umat Islam yang tersudut mencoba membela diri. Mereka ini sayangnya membela secara salah dan melakukan penakwilan yang batil dengan mengatakan bahwa jihad dalam Islam hanya jihad defensif saja. Jelas takwil ini seperti tak dapat diterima dan tertolak (marduud), karena bertentangan dengan nash syara’ dan realitas sejarah futuhat pada masa Khulafa`ur Rasyidin. (Lihat Busthomi Muhammad Said, Gerakan Pembaruan Agama (Mafhum Tajdid Ad-Diin), Bekasi : Wala Press, 1995, hlm. 317-321).
Jihad dan Penegakan Khilafah
Mungkin ada yang bertanya, apakah HT menggunakan jihad dalam perjuangannya menegakkan Khilafah?
Jawaban singkatnya : tidak. Dalam metode perjuangannya menegakkan kembali Khilafah, HT hanya melaksanakan dakwah dalam bentuk aktivitas politik (al-a‘maal as-siyasiyah), seperti mengkritik penguasa, menggalang aksi demonstrasi damai (masiirah), mengirim delegasi kepada para politikus, dan sebagainya. HT juga hanya melakukan dakwahnya dalam bentuk pergolakan pemikiran (ash-shira’ al fikri), seperti mengkritik  kapitalisme, demorasi, nasionalisme, pluralisme, dan sebagainya.
Jadi HT tidak menggunakan kekuatan fisik (al-quwwah al-maaddiyyah), yaitu perang atau mengangkat senjata untuk melawan penguasa atau siapa saja yang menentang dan menghalangi dakwah HT. (Hizbut Tahrir, hlm. 43).
Semua ini dilakukan HT dalam rangka meneladani Rasulullah SAW, karena  Rasulullah SAW pada fase Makkah hanya melakukan aktivitas dakwah saja, tidak mengangkat senjata melawan kaum kafir hingga hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Ketika orang-orang yang membaiat Rasulullah SAW dalam Baiat Aqabah Kedua mengajak kepada beliau untuk memerangi penduduk Mina dengan pedang, Rasulullah SAW menjawab,”Kita belum diperintahkan untuk itu [berperang] (lam nu`mar bidzalika].” (Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra; Ibnu Katsir, As-Sirah, 2/204; Al-Haitsami, Majma’uz Zawa`id, 6/48). (Hizbut Tahrir, hlm. 44; Muhammad Syuwaiki, Ath-Thariq ila Daulah Al-Khilafah, hlm. 40).
Namun demikian, jika suatu negeri Islam diserang kaum kafir, atau diduduki kaum kafir, seperti Palestina sekarang, maka syabab Hizbut Tahrir yang ada di negeri itu berkewajiban secara fardhu ‘ain untuk berjihad, sebagaimana kewajiban kaum muslimin yang lain. Para syabab Hizbut Tahrir dalam hal ini melaksanakan kewajiban jihad dalam kedudukan mereka sebagai individu muslim, bukan sebagai aktivis Hizbut Tahrir. Dan tujuannya adalah untuk membela diri, bukan untuk menegakkan Khilafah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah. (Hizbut Tahrir (Ta’rif), hlm. 44).
Jihad dan Khilafah
HT memandang bahwa jihad adalah suatu kewajiban yang bersifat mutlak. Artinya, baik Khilafah itu ada maupun tidak ada, jihad tetap wajib dilaksanakan. Tidak dapat dikatakan bahwa kewajiban jihad hanya ada ketika Khilafah ada.
Yang demikian itu karena nash yang mewajibkan jihad bersifat mutlak (misal QS Al-Baqarah : 216), tanpa ada syarat atau taqyid (batasan) bahwa kewajiban jihad ini baru dapat dilaksanakan jika ada Khilafah.
Hanya saja, ketika Khilafah telah berdiri (insya Allah dalam waktu dekat ini), dan Khalifah telah dibaiat secara sah, maka urusan jihad diwakilkan kepada Khalifah yang sah ini. Umat Islam yang menjadi rakyat dalam negara Khilafah wajib mentaati Khalifah tersebut, termasuk mentaati Khalifah dalam urusan jihad, meski pun Khalifahnya fajir (fasik), asalkan dia tetap menjabat sebagai kepala negara Khilafah.
Sabda Rasulullah SAW dalam masalah ini telah jelas :

الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيْرٍ بَرّاً كَانَ أَوْ فَاجِراً

“Jihad itu wajib atas kalian bersama setiap pemimpin (amir), entah pemimpin yang baik entah pemimpin yang fajir (fasik).” (HR Abu Dawud, no. 2533; Daruquthni, 2/56; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, no 5401).
Jihad bagi negara Khilafah mempunyai posisi yang sangat strategis. Karena jihad bukan saja berfungsi sebagai sarana pertahanan dari serangan musuh, namun lebih dari itu, jihad menjadi metode (thariqah) untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Tentu cara melaksanakan jihad ini tidak boleh semena-mena, melainkan wajib berpegang dengan hukum syara’, yaitu tidak halal melancarkan jihad kepada suatu kaum kafir, kecuali disampaikan dulu kepada mereka ajakan masuk Islam dan membayar jizyah, sebagai hadits Sulaiman bin Buraidah RA dari ayahnya dalam Shahih Muslim yang telah dijelaskan di atas. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 1/212; Ajhizah Daulah Al-Khilafah, hlm. 78). Wallahu a’lam.
= = =
*Disampaikan dalam Diskusi Publik dengan tema “Jihad”, diselenggarakan oleh PCNU Kabupaten Cilacap, di Hotel Grand Liana, Cilacap, Sabtu, 23 Nopember 2013
** Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia DIY. Pimpinan (mudir) Pesantren Hamfara, Bantul, Yogyakarta. Pernah menjadi santri di PP Nurul Imdad, Bogor (diasuh oleh KH Ahmad Zaini Dahlan) tahun 1990-1992, dan PP Al-Azhhar, Bogor (diasuh oleh KH. Abbas Aula, Lc) tahun 1992-1994. Alumnus IPB Bogor (1997) dan Magister Studi Islam UII Yogyakarta (2009).

Ide Khilafah sudah ada Sejak tahun 1924 di Indonesia

Posted by adim_wijaya on Sabtu, 19 Oktober 2013 | 0 komentar | Leave a comment...



Dokumen pertemuan Pertama Kali di Indonesia Untuk Membahas Khilafah


Ditulis oleh: Harun Arrosyid - Minggu, 20 Oktober 2013

Kabar HindiaBendera Islam, pada 30 November 1924 memberitakan sebuah rapat besar yang dihadiri sekitar 3000 orang untuk membahas persoalan khilafah di Cianjur. Sesuatu yang sangat luar biasa, dalam konteks hari ini sekalipun, dimana Cianjur menjadi saksi sebuah pertemuan yang membicarakan khilafah dan dihadiri banyak ulama, aktifis, dan tokoh umat.
Peristiwa penghapusan Turki Usmani oleh Mutafa Kemal yang disusul seruan ulama al-Azhar untuk menghadiri Kongres Kairo yang akan memilih khalifah baru mendapat antusiasme sangat besar dari umat Islam di Indonesia.
Pada 4-5 Oktober 1924, para pemimpin Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan sebuah pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng Surabaya. Selain dihadiri oleh para pemimpin nasional dan lokal dari ketiga organisasi tersebut, pertemuan ini juga dihadiri oleh banyak ulama besar, baik dari kalangan orang Arab maupun orang Jawa. Dalam pertemuan ini terjadi diskusi yang panjang tentang khilafah dan seruan ulama al-Azhar tersebut.
Dalam sejarah Indonesia, pertemuan ini menjadi pertemuan khusus membahas khilafah yang pertama kali diadakan di Indonesia. Disepakati dalam pertemuan ini bahwa keberadaan khilafah adalah wajib, dan penting mengirim delegasi Indonesia ke Kongres Kairo. Hasil lain dalam pertemuan ini adalah kesepakatan para ulama dan tokoh pergerakan Islam untuk membentuk Komite Khilafah sebagai wadah bagi mereka dalam memperjuangakan khilafah.
Komite Khilafah bertugas menetapkan mandat yang akan dibawa oleh delegasi Indonesia. Mandat tersebut berisi sebuah konsep khilafah yang akan ditegakan. Oleh karena itu ternyata perjuangan mereka saat itu telah berhasil merumuskan sebuah konsep baru tentang khilafah.
Pada 24-27 Desember 1924 komite yang diketuai Wondo Soedirjo dengan wakil K.H. Abdul Wahab ini mengadakan Kongres Al-Islam Luar Biasa. Kongres yang dihadiri oleh ribuan umat Islam termasuk ulama dan tokoh pergerakan ini menyetujui mandat tersebut. Dengan seiya sekata para peserta kongres menyatakan wajib terlibat dalam perjuangan khilafah.
Selain itu kongres tersebut juga menyepakati untuk mendirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu dibeberapa kota di Indonesia didirikan cabang-cabang Komite Khilafah. Jika kita telusuri sejarah lokal tentang Komite Khilafah, barangkali di kota tempat kita tinggal saat ini dapat ditemui jejak-jejak perjuangannya.
Komite cabang yang pernah didirikan antara lain adalah Komite Khilafah Yogyakarta, Komite Khilafah Pekalongan, Komite Khilafah Cirebon, Komite Khilafah Pasuruan, Komite Khilafah Bogor, Komite Khilafah Banjarmasin dan Komite Khilafah Cianjur. Hal ini menjadi bukti bahwa perjuangan khilafah mendapatkan apresiasi yang sangat besar di berbagai tempat di Indonesia.
[sumber: www.bringislam.web.id]

Jadwal Shalat

Subscription

You can subscribe by e-mail to receive news updates and breaking stories.

Most Popular

Data Visitor

  • Atha Abu Ar-Rasythah, Amir Hizbut Tahrir Saat Ini Pada tanggal 11 Shafar 1424 H atau 13 April 2003 M, ketua Diwan Mazhalim Hizbut Tahr...
  • Hizbut-tahrir yang didirikan oleh Syakh Taqiyuddin Annabhani mempunyai beberapa kitab Mutabanat yang dikaji oleh para syabab. Bagi yang i...
  • Hukum Bekerja dengan Penguasa sebagai Polisi dan Lainnya Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Saya punya p...
  • KEWAJIBAN MENEGAKKAN KEMBALI KHILAFAH ISLAM Khilafah Islam adalah kepemimpinan umum (dalam bentuk Negara) bagi seluruh kaum mu...
  • Ustadz Arifin Ilham : Puncak Kesufian Dalam Islam Adalah Dakwah dan Jihad Untuk Tegaknya Syariah dan Khilafah!   HTI Press. ...
  • Mewaspadai Dosa Riba Muslim manapun sejatinya tahu, zina adalah salah satu dosa besar. Allah SWT menyebut zina sebagai kekejian (fâhisya...
  • Hukum Menghina Nabi SAW, Serta Sanksi dan Tindakan Khilafah Oleh: Hafidz Abdurrahman Penghinaan kepada Nabi terus dipertontonkan ...
  • Rahasia Hajar Aswad Hajar Aswad adalah “batu hitam” yang terletak di sudut sebelah Tenggara Ka’bah, yaitu sudut darimana Tawaf dimu...
  • Kitab Ahbabullah ( Kekasih-kekasih Allah). Penulis : Syakh Thalib ‘AwadaLlâh ( Syabab Senior) Buku ini berisi kisah-kisah para pe...
  • Jihad dalam Perspektif Hizbut Tahrir Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI** Pendahuluan Tulisan ini bertujuan menjelask...

Tag Cloud

Label

Recent News

Archives

@ 2013 Wartaideologis,Hak Cipta hanya milik Allah SWT, Mengkopi dan menyebarkan isi web ini sangat dianjurkan.