Jalan Kebangkitan Indonesia
Posted by adim_wijaya on Selasa, 25 Desember 2012 | 0 komentar
Kebangkitan Indonesia tentu amat
diidam-idamkan. Namun, patut disayangkan, setelah lebih dari satu abad Hari
Kebangkitan Nasional diperingati bangsa ini, fenomena yang terjadi sangat
kontras dengan harapan dan keinginan.
Penjajahan fisik memang telah pergi.
Namun, penjajahan non-fisik ternyata masih mencengkeram kuat di seluruh sendi
kehidupan; baik di sektor politik, ekonomi, sosial, budaya maupun keamanan.
Keterpurukan bangsa ini tercermin dari angka kemiskinan yang tinggi, kasus korupsi
yang menggurita, penegakkan hukum yang bobrok, dekadensi moral, dan masih
banyak lagi.
Padahal beberapa faktor pendukung
untuk menjadi negara bangkit dan maju sudah ada pada negeri ini. Di antaranya
ialah potensi kekayaan alam yang begitu melimpah-ruah serta sumberdaya manusia
yang cukup luar biasa.
Tentu patut dipertanyakan, mengapa
Indonesia tidak juga kunjung bangkit?
Narasi sejarah mencatat, bahwa tidak
cukup untuk membangkitkan Indonesia ketika negeri ini sudah sebanyak enam kali
berganti pucuk pimpinan, bergilir pula wajah-wajah baru di jajaran kabinet
maupun wakil rakyat, juga beberapa kali bangsa ini melakukan eksperimen sistem
kenegaraan dengan menjajal beberapa bentuk sistem negara; zaman Orde Lama
dengan nuansa sosialismenya, zaman Orde Baru dengan corak kapitalisme, dan era
reformasi dengan corak liberalnya. Ternyata hasilnya adalah nol.
Faktor Penyebab
Setidaknya ada beberapa penyebab
mengapa negeri ini tidak juga kunjung bangkit. Pertama:
Penguasa yang tidak layak memimpin. Kebangkitan suatu bangsa membutuhkan
seorang pemimpin yang kredibel. Kualitas dan integritas pemimpin tersebut harus
mumpuni. Hal itu belum ditemukan pada pemimpin Indonesia selama ini.
Presiden pertama RI, misalnya, meski
memiliki beberapa disiplin ilmu, dipandang tegas dan berani, penguasa
yang satu ini tidak memiliki pemikiran ideologi yang sahih. Salah satu blunder
politik yang telah dia lakukan ialah ketika dia memaksakan pemikiran NASAKOM
(Nasionalis, Agama, Komunis) kepada masyarakat dan bersikeras menolak
pembubaran PKI sehingga membuat Indonesia merana.
Presiden-presiden Indonesia
selanjutnya cenderung tunduk kepada pihak asing. Alhasil, penjajahan di negeri
ini pun semakin mencengkeram. Penguasa yang seharusnya menjadi ra’in (pengurus rakyat) malah
acapkali membuat kebijakan yang menambah derita rakyat, seperti menyerahkan
kekayaan alam kepada pihak asing, menaikkan harga BBM, menjual aset-aset
negara, dsb. Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja
kehancuran terjadi.” Seorang Sahabat bertanya, “Bagaimana amanat disia-siakan?” Nabi
saw. menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada
ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. al-Bukhari).
Kedua: Mental para
pejabat, termasuk di dalamnya aparat penegak hukum, yang buruk. Korupsi,
suap-menyuap dan perilaku hedonis sudah menjadi budaya bagi mayoritas pejabat.
Riset global barometer 2009 oleh Tranparancy International (TI) menyatakan,
korupsi tertinggi adalah di parlemen. Lalu disusul institusi peradilan di
peringkat kedua, Parpol bertengger di urutan ketiga, dan keempat adalah pegawai
publik.
Ketiga: Sistem negara
yang lemah. Sistem negara menjadi faktor paling dominan mengapa Indonesia tidak
kunjung bangkit. Sistem sekularisme-demokrasi yang diterapkan di negeri ini
menjadi pintu masuk penjajahan. Karena sistem pula, banyak manusia yang
sebelumnya baik akhirnya berubah menjadi tidak baik. Sebagai contoh adalah para
politisi idealis yang kemudian bermetamorfosis menjadi politisi pragmatis,
hedonis dan opurtunis.
Keempat: Belum
terbentuknya kesadaran ideologis di tengah-tengah masyarakat. Sejak Orde Lama
sampai sekarang, umat terus dicekoki dengan pemikiran sekularisme. Akibatnya,
sebagian besar umat tidak memiliki pemikiran dan ideologi yang benar, kurang
kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, serta belum
mengerti bagaimana mengkontruksi sebuah perubahan yang bersifat komprehensif
untuk kebangkitan bangsa. Sebagai contoh adalah masih gandrungnya sebagian masyarakat
dengan sistem kufur seperti demokrasi.
Kelima: Ulama yang kurang
mengindahkan perannya. Ungkapan dari ulama besar Imam al-Ghazali—meski
disampaikan sejak beberapa abad lalu—sudah cukup untuk menggambarkan kiprah
para ulama. Berikut petikannya:
Dulu di antara
tradisi para ulama adalah mengoreksi dan mengawal penguasa untuk menerapkan
hukum Allah. Mereka mengikhlas-kan niat dan pernyataan mereka membekas di hati.
Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun ulama hanya diam.
Andai mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga
tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan
penguasa dan kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan
ulama adalah akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang
digenggam oleh cinta dunia, niscaya dia tidak mampu menguasai ‘kerikilnya’,
bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar
(Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, VII/92).
Islam: Jalan Kebangkitan
Menurut Syaikh Hafidz Shalih, maksud
dari kebangkitan ialah perpindahan umat, bangsa atau individu dari suatu
keadaan menuju ke keadaan yang lebih baik (Hafidz Shalih, Falsafah Kebangkitan: Dari Ide Hingga Metode.
(terj. An-Nahdhah).
Kebangkitan suatu bangsa akan dapat
diperoleh saat taraf berpikir masyarakatnya meningkat, yakni dengan memeluk
suatu pemikiran yang mendasar dan menyeluruh, atau memeluk sebuah ideologi.
Kaum sekular Barat mampu bangkit
dengan ideologi Kapitalisme. Bangsa Uni Soviet, mereka mampu bangkit dengan
memeluk ideologi Sosialisme. Namun perlu digarisbawahi, kebangkitan dengan
kedua ideologi tersebut adalah kebangkitan semu belaka. Fakta empirik
menunjukkan ideologi-ideologi batil ini justru menimbulkan efek kesengsaraan
dan penderitaan bagi umat manusia. Akibatnya, Sosialisme kemudian hancur
setelah berkuasa selama 74 tahun. Ideologi Kapitalisme juga mulai tampak
borok-boroknya.
Hal tersebut sangat wajar mengingat
paradigma kedua ideologi tersebut tidak sesuai dengan fitrah manusia dan tidak
memuaskan akal. Akidah dari Sosialisme-komunis adalah materialisme yang
menafikan adanya sang Pencipta. Padahal secara fitrah manusia memiliki
kecenderungan untuk mensucikan atau menyembah sang Pencipta. Ideologi
Sosialisme-komunis juga bertentangan dengan akal. Pasalnya, mustahil manusia,
alam semesta, dan kehidupan ini tidak ada yang menciptakannya.
Adapun akidah dari ideologi
Kapitalisme adalah sekularisme. Meski mengakui adanya Tuhan, ideologi ini
menolak campur-tangan Tuhan dalam mengatur kehidupan. Ini juga tidak sesuai
fitrah manusia yang serba lemah dan terbatas, yang sangat membutuhkan aturan
dari Tuhan, sang Pencipta.
Karena itu, kebangkitan hakiki adalah
yang pernah dialami bangsa Arab saat mereka mengambil Islam sebagai
ideologinya. Kebangkitan ini pelopori oleh Rasulullah saw. Bangsa yang dulunya
Jahiliah berubah menjadi bangsa berperadaban tinggi dan mulia, bahkan kemudian
berhasil menerangi dua pertiga dunia.
Ideologi Islam berpijak pada akidah
Islam, satu-satunya akidah yang benar, bersumberkan al-Quran dan as-Sunnah.
Inilah akidah yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan
menenteramkan jiwa. Kebangkitan yang benar tentunya harus bersumber dari
ideologi (mabda’) yang benar. Mabda’ yang benar haruslah berpijak
di atas akidah yang benar.
Akidah Islam memiliki karakteristik
sebagai akidah ruhiyah sekaligus akidah ri’ayah yang haq. Akidah ini
memancarkan sebuah sistem (aturan) kehidupan yang menyeluruh, mengatur urusan
pribadi, keluarga maupun negara. Sebagai contoh: Islam memerintahkan untuk
melakukan shalat dan puasa. Lalu untuk melangsungkan generasi penerus, Islam
memerintahkan supaya menikah dengan lawan jenis. Dalam rangka untuk menjamin
sebuah pernikahan itu, Islam juga memerintahkan sejumlah sanksi berupa hukum
cambuk dan rajam bagi pelaku zina. Contoh lain, Islam memerintahkan untuk
memperoleh harta secara halal. Lalu untuk menjamin kepemilikan harta tersebut,
Islam memerintahkan hukuman potong tangan bagi pencuri.
Keunggulan Ideologi Islam
1. Secara normatif.
Tidak ada ideologi
yang lebih baik dari ideologi Islam sebab ideologi ini bersumberkan wahyu
Ilahi. Ia datang dari Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Penggenggam
jagatraya beserta isinya. Tentu ideologi ini tak perlu diragukan lagi.
Ideologi Islam
merupakan jalan terang yang diberikan oleh Allah SWT, yang mendapat garansi
langsung dari sang Pencipta. Ini berbeda dengan ideologi atau hukum buatan
manusia yang hanya berlandaskan hawa nafsu sehingga tak lepas dari kepentingan
sekelompok manusia pembuat hukum itu sendiri.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ
حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum
Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
2. Secara faktual.
Di dunia saat ini
tidak ada satu pun negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Namun, bukan berarti hal
itu membuat pesona syariah Islam menjadi pudar. Beberapa fakta empirik
menunjukkan bagaimana kehebatan syariah Islam ketika diaplikasikan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, meski penerapannya baru sebagian kecil
saja.
Saat Perda
bernuansa syariah Islam di Bulukumba, Sulsel, pada 2001, misalnya, tingkat
kriminalitas turun 85 persen. Di Arab Saudi, negara yang menerapkan hudud dan qishash terbukti juga mampu menekan
angka kriminalitas dengan angka yang begitu minim.
3. Secara historis.
Ideologi Islam
telah menorehkan tinta emas sejarah peradaban umat manusia ketika diterapkan
selama berabad-abad lamanya. Banyak bukti historis menunjukkan kemajuan
peradaban Islam mulai dari bidang politik, ekonomi hingga sains dan teknologi.
Meski kaum orientalis berusaha menyembunyikannya, kegemilangan peradaban Islam
tak mampu ditutupi.
Islam telah mampu
mensejahterakan, memberi rasa nyaman dan memberi kebahagiaan bagi umat manusia.
Sejahrawan Barat seperti Will Durrant sekalipun tak sanggup menahan
tutur-katanya untuk memberikan pujian kekaguman pada peradaban Islam, seperti
dia ungkapkan dalam The Story of Civilization.
Bahkan peradaban
Islamlah yang memberi sumbangsih besar atas kemajuan barat saat ini. Robert
Briffault , dalam The Making of Humanity,
menyatakan, “Seluruh segi kemajuan peradaban di Eropa secara pasti dapat
ditelusuri akarnya dari peradaban Islam. Peradaban Islamlah yang telah
menghidupkan energi yang menggerakkan peradaban modern.”
Pentingnya Negara Khilafah
Karena itu, jika ingin bangkit, negeri
ini tidak cukup hanya dengan berganti pemimpin atau pejabatnya, namun
diperlukan pula sebuah sistem negara dengan kualitas nomor wahid. Umat pun
perlu diarahkan supaya memiliki kesadaran ideologis.
Sistem itu tiada lain adalah sistem
Islam, yang mewujud dalam penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek
kehidupan melalui penegakkan Khilafah Islamiyah. Hanya dengan Khilafahlah,
syariah Islam dapat diterapkan secara sempurna.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa
harus syariah dan khilafah. Pertama:
tuntutan akidah kita sebagai seorang Muslim. Allah SWT mencela siapa saja yang
menerapkan sistem/aturan/hukum (ideologi) selain hukum Allah SWT (Lihat: QS
al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Kedua: Syariah Islam
membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Hanya melalui penegakkan syariah dan
Khilafah itulah segala bentuk penjajahan dapat dihapuskan dan negara menjadi
mandiri sehingga apa yang dicita-citakan berupa kebangkitan bangsa dapat
terwujud. Sungguh, Indonesia dan dunia membutuhkan syariah dan Khilafah untuk
kehidupan yang lebih baik. WalLahu a’lam.
[]
Ali Mustofa Akbar adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) Desk Sosial-Politik dan Staf Humas HTI Soloraya.
0 komentar for "Jalan Kebangkitan Indonesia"
Leave a reply