KEBIJAKAN KHILAFAH
Posted by adim_wijaya on Selasa, 25 Desember 2012 | 1 komentar
Kebijakan Khilafah Terhadap Perayaan Keagamaan Orang-orang
Kafir
Oleh: Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
Khilafah adalah negara yang tegak di atas akidah dan syariat
Islam. Akidah Islamiyyah adalah asas
negara; dan syariat Islam merupakan satu-satunya hukum untuk mengatur urusan
negara dan rakyat. Khilafah Islamiyyah tidak akan mengadopsi atau mendakwahkan
pemikiran dan hukum yang bertentangan dengan Islam. Walaupun Khilafah
harus mengakomodasi keragaman agama dan
keyakinan selain Islam, memperlakukan orang-orang kafir dengan adil, serta
memenuhi hak dan kebutuhan mereka dengan cara yang makruf, namun, itu tidak berarti Khilafah Islamiyyah akan
memberikan dukungan bagi penyebaran agama dan keyakinan selain Islam, dalam
bentuk apapun.
Sebab, Khilafah tidak hanya bertugas melakukan ri’ayah
suunil ummah belaka, namun ia juga
diberi taklif mendakwahkan Islam agar orang-orang kafir masuk ke dalam agama
Islam. Khalifah dan pejabat-pejabat
negara yang Muslim, sebagaimana kaum Muslim lainnya, diberi tanggung jawab yang
sama dalam hal dakwah dan terikat dengan hukum syariat. Oleh karena itu,
larangan memberikan bantuan dan melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas
keagamaan orang-orang kafir—seperti ibadah dan perayaan agama mereka–, tidak
hanya berlaku bagi umumnya kaum Muslim saja, tetapi juga berlaku bagi Khalifah dan pejabat
negara.
Adapun dalam konteks kebijakan Khilafah terhadap perayaan
keagamaan orang-orang kafir, dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, Khilafah melarang kaum Muslim merayakan atau
melibatkan diri dalam perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun
bentuknya. Pasalnya, Islam mengharamkan
kaum Muslim terlibat dalam perayaan-perayaan keagamaan orang-orang kafir.
Sahabat besar seperti Ibnu Abbas, Abdullah bin Umar dan para tabiin, seperti
Mujahid, Mohammad Ibnu Sirin, dan sebagainya, menyatakan bahwasanya kaum Mukmin
dilarang merayakan hari raya orang-orang musyrik.” [Imam Qurthubiy, Tafsir
Qurthubiy, juz 13, hal. 79; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal.
329-330] Beberapa fuqaha juga berpendapat senada mengenai firman Allah SWT
al-Furqan: 72. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Kaum Muslim telah diharamkan
untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslim juga
diharamkan memasuki gereja dan tempat-tempat ibadah mereka.” [Ibnu Tamiyyah,
Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201].
Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslim diharamkan
memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla'
al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.201] Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal
menyatakan,”Kaum Muslim dilarang keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang
kafir dan musyrik.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim,
hal.201-202] Al-Qadliy Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “kaum Muslim telah dilarang
untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. [Ibnu Tamiyyah,
Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim, hal.181] Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim
telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang musyrik atau kafir, atau
memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik
kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan
makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka
mengundang kita.” [Ibnu Tamiyyah, Iqtidla' al-Shiraath al-Mustaqiim,
hal.230-231]
Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu
–sejak masa Rasulullah SAW–, kaum Muslim tidak diperbolehkan merayakan hari
raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai hari
raya orang-orang kafir, “Setiap umat memiliki hari raya sendiri-sendiri. Idul
Fithri adalah hari raya kita.” [HR. Bukhari dari 'Aisyah ra]
Tatkala mengomentari hari raya bangsa Persia, Rasulullah SAW
bersabda, “Allah SWT telah mengganti dua hari yang lebih baik daripada kedua
hari itu (nairus dan naharjan: hari raya bangsa Persia), yaitu Idul Fitri dan
idul Adha.: [HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasaa'iy, dan Ibnu Majah]
Riwayat-riwayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa
Rasulullah SAW telah melarang kaum Muslim merayakan atau melibatkan diri dalam
perayaan hari raya orang-orang kafir.
Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khaththabb,
beliau telah melarang kaum Muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam
Baihaqiy telah menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin
Dinar, bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah kalian mempelajari bahasa-bahasa
orang-orang Ajam. Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik
pada hari raya mereka. Sesungguhnya murka Allah SWT akan turun kepada mereka
pada hari itu.”. [HR. Imam Baihaqiy]
Realitas di atas menunjukkan bahwa sejak masa sahabat ra,
Islam telah melarang kaum Muslim melibatkan diri di dalam perayaan hari raya
orang-orang kafir, apapun bentuknya.
Melibatkan diri di sini mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir
di jalan-jalan untuk menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim
kartu selamat, dan lain sebagainya.
Perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari
raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari
perayaan orang-orang kafir, musyrik maupun ahlul kitab.
Kedua, memberikan sanksi bagi kaum Muslim yang terlibat
perayaan keagamaan orang-orang kafir.
Adapun kadar dan bentuk sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada
qadliy. Pasalnya, pelanggaran dalam
masalah ini termasuk dalam kasus ta’zir.
Ketiga, khalifah tidak akan melarang atau menghalang-halangi
orang-orang kafir merayakan hari keagamaan mereka. Pasalnya, orang-orang kafir diberi kebebasan
dalam menjalankan peribadahan mereka di dalam Daulah Islamiyyah, pada
batas-batas yang ditentukan oleh syariat Islam. Sejak masa Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin,
orang-orang kafir dibiarkan merayakan perayaan keagamaan mereka. Mereka hanya melarang kaum Muslim untuk
melibatkan diri dalam perayaan mereka.
Keempat, khalifah tidak akan memberikan bantuan, atau
melibatkan diri dalam perayaan-perayaan keagamaan orang-orang kafir. Pasalnya, seorang khalifah, sebagaimana kaum
Muslim yang lain, wajib terikat dengan hukum syariat larangan melibatkan diri
dalam perayaan hari raya orang-orang kafir.
Lebih dari itu, seorang khalifah maupun pejabat-pejabat negara Khilafah
tidak akan memberikan ucapan selamat, kata sambutan, atau memberikan hadiah
perayaan kepada orang kafir. Sebab,
perbuatan-perbuatan seperti ini hukumnya haram.
Inilah kebijakan Khilafah Islamiyyah terhadap perayaan keagamaan
orang-orang kafir. Kebijakan di atas
disusun dengan mempertimbangkan tugas seorang khalifah untuk menerapkan syariat
Islam di dalam negeri dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru alam. Tugas ini meniscayakan seorang khalifah
untuk tidak pernah condong sedikit pun dengan kekufuran dan
kemaksiatan–termasuk tidak mengeluarkan kebijakan mendukung perayaan keagamaan
orang-orang kafir. Sebaliknya, seorang
khalifah wajib mendakwahi orang-orang kafir, baik di dalam maupun luar negeri,
untuk masuk ke dalam agama Islam. Hanya
saja, dalam konteks pengaturan urusan rakyat, Khilafah akan memperlakukan
orang-orang kafir secara adil. Hak-hak
mereka sebagai warga negara Khilafah Islamiyyah dipenuhi dan dilindungi
sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bish shawab. (mediaumat.com, 19/12)
Khilafah Janji Allah SWT, Allohuakbar